Wartawan Membela Lutfiana Ulfa

Posted in Uncategorized on 16/11/2008 by jurnalisdamai

Atas nama hukum dan HAM, wartawan mengekspos besar-besaran pernikahan Syeh Puji dan Lutfiana Ulfa. Bukan rahasia, wartawan meminjam mulut para tokoh dan ahli, untuk menilai status pernikahan mereka secara hukum.mmalulu2

Pro-kontra melebar kemana-mana. Arahnya Syeh Puji melanggar beberapa undang-undang dan pasal. Dengan berbagai ancaman dan tuntutan. Kalau tidak salah, hukum mengatur hak publik dan private orang.

Pernikahan masuk dalam kategori hak private seseorang. Tapi, kalau tidak salah secara detail, pernikahan hanya diatur dalam hukum agama. Maksudnya, dalam sistem hukum agama, tidak hanya menjelaskan secara detail tentang pernikahannya. Bahkan hingga aspek Immateri atau transenden, sesuatu yang ada di luar jangkauan pikiran manusia, Tuhan itu sendiri.

Kalau media meributkan pernikahan mereka, karena si wanita masih dibawah umur. Mungkin, tolok ukurnya remaja pekotaan, yang diusia 12 tahun masih suka ngompol di celana.

Kalau di desa atau daerah yang masih belum terlalu berbau kotanya. Seusia Lutfiana Ulfa jauh lebih dewasa cara berfikirnya. Sebab sudah terbiasa mikir soal tantangan dan berbagai persoalan hidup.

Ketika Syeh puji dan Ulfa mengatakan, keduanya nikah karena Tuhan. Meskipun dalam ajaran Tuhan ada dasarnya. Kalau mau diketemukan dengan hukum manusia, ciptaan manusia.

Pasti tidak akan sejalan, sebab sama halnya mensejalankan pikiran Tuhan dengan Tuhan. Kalau pikiran manusia sudah sejalan dengan pikiran Tuhan. Pasti tidak akan lagi undang-undang hukum positif.

Toh dalam hukum agama yang mereka yakini, semua sudah diatur didalamnya. Setelah media secara besar-besaran membela Ulfa, dan berusaha minta justifikasi dari ahli, seperti Seto Mulyadi. Mereka dipisahkan, atas nama HAM dan kemanusian.

Ketika Ulfa bertanya kepada wartawan, “Saya disini senang, tidak tertekan, koq diluar sana meributkan saya,”. Tentu media merasa malu, hanya saja untuk menutupi rasa malu, teruslah dibombardir dalam berbagai tayangan acara dan tulisan.

Kini Ulfa siap menjanda, wartawan berhasil membela Ulfa, dengan memisahkan dari Puji. Wartawan dan Seto Mulyadi pasti merasa berhasil dengan membiarkan Ulfa justru merasa malu, karena selalu disebut bau kencur. Dan orang tuanya telah menukar anaknya dengan kekayaan Puji.

Bagaimana dia harus menempatkan diri di tengah masyarakat umum, setelah kejadian ini. Perasaan Ulfa dan orangtuanya, sekarang hanya Tuhanlah yang tau.

Mimpi Suku Vhana Ditengah Egoisme Kehidupan Kota

Posted in Uncategorized on 15/11/2008 by jurnalisdamai

Diakusi dengan salah satu anggota DPRD Kota Palu

Kampung Vhana, letaknya di Pegunungan Gawalise, sebelah barat Kota Palu. Dari informasi yang saya peroleh, berdekatan dengan Kampung Mahdi. Ia mati ditembak aparat kepolisian Polda Sulteng, dengan tuduhan pembunuhan perwira polisi, dan penyebar ajaran sesat. Tapi saya tidak hendak cerita tentang Mahdi. Mudah-mudahan dilain waktu saja.

Penghuni Kampung Vhana ini, hanya sekitar 200 hingga 250 jiwa. Letaknya yang berada di pegunungan, jalan belum bisa ditempuh dengan kendaraan. Didukung dengan kemajuan daerah Kota Palu, yang jika dibanding dengan daerah lain, misalkan di Jawa. Kota Palu masih agak tertinggal.

Tapi jangan salah, di Kota Palu, masyarakat pinggiran atau kalau orang palu menyebut dengan Tho Lare (orang Gunung), hampir dipastikan bisa bahasa nasional kita. Beda halnya dengan daerah jawa. Biasanya kalau sudah diatas umur 50-an tahun, sudah susah ngomong Bahasa Indonesia. Entah kenapa…?

Masyarakat Kampung Vhana (o iya, biasanya kalau sudah di Bahasa Indonesiakan jadi Kampung Wana), yang terletak di daerah dengan geografis pegunungan, sarana jalan yang belum seadanya, ternyata memiliki mimpi indah.

Mereka yang sehari-hari bekerja sebagai petani kebun, dengan penghasilan tidak menentu, perhitungan hanya sekitar Rp12-15 ribu perhari. Selalu memandang gemerlap lapu di Kota Palu. Yang jika dipandang dari kampung mereka, dari pegunungan terlihat kerlap-kerlipnya. “Luar biasa”, begitulah kira-kira dalam hati mereka. O ya, di Kampung Vhana belum masuk jaringan listrik.

Ternyata mereka memimpikan untuk bisa masuk ke space bar (salah satu tempat kehidupan malam di Kota Palu). Mereka juga mimpi untuk bisa masuk ke Mall Tatura, satu-satunya Mall di Kota Palu.

Jika salah satu warga sudah pernah melihat dari depan pagar. Atau sekedar menyentuh pagar kedua tempat ini. Maka, hal itu akan menjadi cerita hebat dikampung mereka. Pengalaman itu akan menjadi topik disetiap obrolan mereka.

Sambung-menyambung cerita, hingga tersebar cerita, Si A sudah pernah kesana. Menurut salah satu anggota DPRD Kota Palu, yang pernah ke tempat itu. Untuk kepentingan perolehan suara pada Pemilu.

Di sore hari, para pemuda sudah siap dengan sepatu, baju dimasukin serta sisiran mengkilat dengan minyak kelapa. Aroma parfum kapur barus menusuk hidung. Mulai berkumpul di dego-dego (tempat nongkrong terbuat dari bambu di pinggir jalan).

Jika sudah begitu, obrolan tidak hanya seputar pengalaman menyentuh pagar space bar atau berada di depan Mall Tatura. Ternyata, menurut salah seorang anggota dewan tersebut. Komunitas Warung Kopi juga tak luput dari pengalaman mereka.

Terakhir saya tutup, cerita ini bukan saya maksudkan untuk merendahkan warga Kampung Vhana. Saya berharap, bagi pecinta masyarakat Indonesia, dapat melihat realitas ini dengan nurani. Terutama bagi para koruptor, kalau sadar dengan nasib mereka, jangan ngentit lagi lah. Kan haknya suku-tertinggal itu juga ada di situ.

Melirik Potensi Alam Porame Dan Matantimali Untuk Pengembangan Olahraga Paralayang

Posted in catatan on 29/12/2008 by jurnalisdamai

Dua gunung menjulang yang mengapit Lembah Palu, memiliki daya tarik tersendiri bagi penikmat eksotisme panorama alam. Satu kelebihan yang tak dimiliki oleh daerah lain di Indonesia.

dsc_4180
Bagi pecinta beberapa cabang olahraga dirgantara, pegunungan yang memagari Lembah Palu ibarat surga bagi paraglider tersebut. Tak heran jika pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVII 27 Juni – 5 Juli 2008 baru-baru ini, khusus Cabang Paralayang dipindahkan ke salah satu wilayah di Lembah Palu.
Menurut ketua panitia PON XVII cabang paralayang waktu itu, Bucek Deep, panitia memindahkan cabang ini dikarenakan tidak adanya gunung di Kalimantan Timur. “Gimana mau terbang, Disana gak ada gunung, makanya dipindahkan ke Palu,” katanya.
dsc_41141 Matantimali, bukit yang menghadap kearah timur laut (south east), dengan lokasi lepas landas (take off ) pada ketinggian (altitude) 1100 meter dari permukaan laut. Meski lokasinya sedikit berbatu dan sempit, namun letaknya yang berada di ujung lereng sangat terjal, memberikan banyak keuntungan bagi pecinta olahraga ini.
Menurut pelatih TIM paralayang DKI Jakarta, Hary Agung, musim terbang di Matantimali tidak memiliki batas (All Year), dengan tingkat kesulitan nomor 2 secara internasional.
“Kelebihan lain yang dimiliki tempat ini (Matantimali), kita bisa naik ke lokasi TO dengan kendaraan roda empat maupun roda dua (Public Car Walk), makanya daerah ini luar biasa,” katanya.
Untuk bisa terbang dan melayang di angkasa, paralayang sangat tergantung pada dua jenis angin. Pertama adalah angin yang menabrak lereng gunung (dynamic lift) yang menimbulkan turbulence (gelombang udara), turbulence dibutuhkan sebagai daya angkat untuk memperoleh ketinggian (altitude). Sumber daya angkat paralayang kedua adalah gelembung panas bumi (thermal).
Kedua sumberdaya angkat paralayang ini dapat dipenuhi daerah ini dengan sempurna. Pertama adalah wilayah pegunungan yang ditabrak angin, yang didukung dekatnya daerah ni dengan pantai. Kedua Thermal, cuaca panas (weather) di daerah ini yang didominasi panas sehingga menimbulkan besarnya thermal di lokasi TO.
Maka, tidak heran jika salah seorang penggila olahraga dirgantara cabang paralayang dari negeri Kanguru Benua Australia, Dr Tom Berryman, yang telah terbang di angkasa semua benua ini menilai daerah ini nomor satu di dunia.
“Gunung Matantimali sangat bagus, nomor satu di dunia, pokoknya sangat-sangat bagus,” ungkap Dr Tom Berryman.
Meski demikian, untuk bisa go internasional daerah ini masih memiliki banyak kendala. Pertama adalah belum tersedianya sarana dan prasarana, kemudia persoalan status kepemilikan lahan.
Menurut atlit paralayang asal Kota Malang Jawa Timur, Bayu Krisna, untuk bisa menjadi daerah tujuan (destination) Paraglider nasional maupun internasional. Baik di lokasi Take Off maupun spotlanding-nya, tidak ada kamar kecil maupun WC.
Kondisi akses tranportasi jalan menuju lokasi take off belum di aspal, juga menjadi persoalan tersendiri, hal ini menimbulkan rasa tidak nyaman bagi atlit asing yang menjajaki medan Pegunungan Matantimali.
“Sangat disayangkan juga daerah seindah itu, kebersihannya belum diperhatikan, padahal bule-bule itu yang paling diperhatikan adalah bersihnya,” ungkap Bayu Krisna.
Salah satu atlit Sulawesi Tengah, yang juga pengurus Persatuan Layang Gantung Indonesia (PLGI) dari Club Maleo, Amir Mahmud mengatakan, para atlit masih belum bisa merasa tenang untuk meningkatkan kualitas dan keterampilannya.dsc_4137
Sebab, ada dua lokasi TO yang dimiliki daerah ini, pertama Matantimali, kedua Porame yang dengan ketinggian 600 feet dari permukaan laut. Untuk Matantimali, menurut amir Mahmud sudah tidak ada persoalan.
Sedangkan, lokasi TO di Porame hingga saat ini masih menyewa kepada masyarakat sekitar pemilik lahan. Begitu juga dengan lokasi landingspot, hingga saat ini juga masih harus menyewa kepada masyarakat setempat.
“Kami berharap kepada pemerintah kita dapat memperhatikan masalah ini, karena potensi kita yang luar biasa ini dapat menajdi salah satu sumber pendapatan asli daerah dari pecinta paralayang, baik nasional maupun internasional,” ungkap Amir Mahmud yang datang ke redaksi Media Alkhairaat menemani Dr Tom Berryman beberapa waktu lalu. Foto: Mall-faruk mahkrus ( dari berbagai sumber dan wawancara)

Apa Salahnya Golput

Posted in Uncategorized on 28/12/2008 by jurnalisdamai

Capek, lelah dan mungkin muak, itulah kata tak terucap dari bibir mengering rakyat Indonesia. Beberapa bulan lagi rakyat kita akan mengikuti hajatan akbar negeri ini. “Pesta Demokrasi”, pesta untuk rakyat?, katanya. Entahlah, disaat ribuan orang yang mengaku pembela rakyat, menghamburkan uang untuk komunikasi politik, guna meraih kursi dewan, wakil presiden hingga presiden. Anak-anak tidak bisa sekolah kian bertambah, mereka terpaksa menjadi pemulung, pengemis, pengamen bahkan melakukan tindakan melanggar hukum. Sehingga kadang harus adu kencang lari dengan petugas Trantib.
Rakyat Indonesia, utamanya yang hidup dibawah garis kemiskinan, dipaksa untuk menjadi warga Negara yang baik dengan memberikan suaranya kepada para calon wakil rakyat dalam Pemilu nanti. Bentuk paksaan yang terakhir adalah saat kumpulan orang yang mengaku Ulama “orang-orang berilmu”, diminta kalangan politisi untuk menandatangani bahwa Golput itu haram.
Rakyat harus menyisihkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS), untuk memberikan suaranya. Waktu yang dialokasikan oleh rakyat, berarti juga menyisihkan waktu untuk bekerja. Bagaimana jika rakyat tersebut hanya seorang buruh harian, dengan pendapatan Rp 30 ribu.
Terkadang, jika kebetulan yang ia pilih menang. Ia harus menghadapi amarah tetangganya, karena beda. Contoh beberapa daerah yang rebut pasca Pilkada adalah Makassar Dan Ternate. Lucunya, ada juga yang masih keluarga, gara-gara beda pilihan tidak baku omong.
Kenapa haram?, dan kenapa Golput?.
Haram, karena kita dianggap sebagai warga Negara Indonesia, oleh kalangan politisi, paling tidak menjelang pelaksanaan Pemilu ataupun Pilkada. Baru-baru ini Prabowo Subianto mengumumkan dana kampanyenya yang mencapai lebih Rp 30 milliar. Saya tidak hafal berapa hasil audit dana kampanye Sutrisno Bachir.
Itu baru dana kampanye dua Capres, ada puluhan Capres yang sudah menyetakan siap bertanding pada Pemilu 2009. Hitung kasar saja ada 10 capres, masing-masing capres menghabiskan Rp 20 milliar, jika ditotal uang yang terhambur untuk komunikasi politik sudah sebesar Rp 100 milliar.
Angka tersebut belum dihitung dengan berapa jumlah Caleg dari tingkat kabupaten, kota, provinsi hingga DPRRI, ditambah lagi dengan calon DPD, belum lagi dana kampanye Pilkada, kemudian dikali lagi dengan puluhan partai yang ada. Berapa jumlahnya?, sangat buuanyak sekali. Bagaimana yang menyebutnya, kalau dalam tata bahasa jawa buuuaaaanyak itu jamak dari jamaknya kata banyak, nah saking banyaknya bingung to?.
Seandainya uang sebuuuaaanyak itu digunakan untuk membangun unit-unit lapangan kerja, tentunya pemerintah tidak akan kebingungan mengantisipasi lonjakan jumlah pengangguran akibat krisis global, yang mungkin puncak pertambahan jumlah pengangguran itu pada tahun 2009 nanti.
Apa jaminan pemilu itu untuk rakyat?
Setiap kali menjelang pemilu, kata yang keluar dari bibir caleg dan capres terasa manis. Meski saya tidak pernah ngenyot ataupun ngemut bibir para caleg dan capres, paling tidak indah di telinga rakyat.
Program pembangunan, baik dari tingkat pusat hingga daerah direncanakan di DPR. Jika di daerah program pembangunan masing-masing dilaksanakan oleh instasi terkait melalui pihak ke tiga, ke empat dan seterusnya.
Malahan suatu ketika saat saya meliput di Kantor Walikota Palu, saya bertemu dengan salah seorang suami dari anggota DPRD Kota Palu berada di salah satu instansi. Begitu ia melihat saya , ia nampak gugup dan tidak berapa lama kemudian ia ngacir, Ia tahu saya wartawan.
Artinya, di dewan banyak peluang cari duit, tahu proyek apa, dimana, kapan dan berapa anggaran. Jika memang mereka bertarung dalam kampanye untuk rakyat. Rakyat tak perlu dibujuk-bujuk lewat gambar di televisi, stiker yang ditempel di pagar, pot bunga, tiang telepon, tiang listrik atau dimana saja.
Apakah pemimpin merakyat , lahir lewat stiker, baliho, bendera atupun lewat koar-koar dimimbar. Nabi Muhammad jadi pemimpin dunia lewat pembelaan nyata terhadap kaum papa.
Soekarno jadi proklamator dan pemimpin bangsa ini lewat pertarungan hebat melawan bangsa asing. Lenin, meskipun gila juga bertarung lewat kerja keras. Rakyat kenal Soekarno saat melihat fotonya di koran melobi bangsa penjajah. Rakyat dengar suara Soekarno saat ia sedang adu argumen untuk kemerdekaan negara ini.
Apa salahnya golput, meski diharamkan MUI, ulama MUI juga manusia.